BEBERAPA hari lalu, baby sitter yang bekerja di rumah bercerita ketika mengikuti program kuis yang berhadiah pulsa melalui SMS di ponsel. Alih-alih mendapatkan hadiah pulsa, justru pulsa ponselnya terkuras.
Seorang kawan juga mengeluhkan hal serupa, karena pulsa ponsel istrinya tersedot tanpa sebab yang jelas.
Kasus seperti inilah yang dalam beberapa hari ini menjadi perbincangan publik; kasus ‘sedot pulsa’.
Kasus seperti ini bukan cerita baru, melainkan praktik tidak etis yang sudah berlangsung lama. Pada tahun 2007, misalnya, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sudah mengendus masalah ini. Pada saat itu, BRTI menengarai banyak penyedia konten (content provider) yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pemasukan besar dalam rangka meningkatkan peringkat untuk mendapatkan dukungan penuh dari operator.
Berita terbaru (KR, 6/10/2011) menyebutkan bahwa 60 penyedia konten nakal dimasukkan ke dalam daftar hitam dan tidak boleh bekerjasama lagi dengan operator.
Bisnis konten memang sangat menggiurkan mengingat jumlah pengguna ponsel di Indonesia yang besar. Data Nielsen menunjukkan, di Indonesia pengguna ponsel naik tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Ponsel adalah teknologi yang penetrasinya di negara berkembang secepat di negara maju. Jumlah pelanggan sembilan operator telekomunikasi di Indonesia telah mencapai 236 juta (banyak pelanggan yang mempunyai beberapa nomor ponsel sekaligus).
Pengguna ponsel berasal dari banyak kalangan dan cenderung semakin muda. Tidak semua pengguna ponsel mempunyai penghasilan besar, karena dengan uang ratusan ribu saja, saat ini, seseorang dapat mempunyai ponsel. Pasar yang luar biasa besar inilah yang ingin dikelola oleh penyedia konten. Pada tahun 2011, Indonesian Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA) memperkirakan nilai bisnis konten dapat mencapai Rp 2 triliun.
Terkait dengan kasus yang sedang marak, pertanyaannya, mengapa penyedia konten dapat dengan mudah menyedot pulsa pengguna? Ada beberapa sebab yang dapat diidentifikasi.
Pertama, informasi yang (sengaja) menyesatkan. Banyak iklan layanan konten dengan SMS premium yang memberikan informasi tidak jelas dan terkesan sengaja menjebak calon pengguna. Tengok saja, beberapa iklan di media elektronik dan cetak. Sebagai contoh, bandingkan besar huruf REG dan UNREG. Belum lagi terkait dengan syarat dan ketentuan layanan yang samar-samar. Asimetri informasi ini menempatkan pengguna dalam posisi yang lemah.
Kedua, akal bulus penyedia konten. Kita harus hati-hati dan tidak menganggap semua perusahaan penyedia konten nakal. Masih banyak konten positif yang bisa dilanggani. Namun, fakta bahwa banyak penyedia konten menghalalkan semua cara untuk mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya tidak dapat ditutup-tutupi. Ini adalah bukti nyata tengara BRTI pada tahun 2007. Akal bulus ini biasanya dikemas dalam program yang menggiurkan, seperti kuis dengan hadiah jutaan rupiah. Belum lagi ditambah sulitnya berhenti berlangganan dengan melakukan UNREG ketika seseorang sudah melakukan registrasi.
Ketiga, latar belakang pengguna yang beragam, terutama yang dengan pengetahuan yang terbatas, nampaknya dimanfaatkan oleh penyedia konten. Pengguna layanan dalam konteks ini dalam posisi yang sangat rentan dan lemah. Namun, tentu saja kesalahan tidak dapat dialamatkan kepada mereka, seperti pada ilustrasi pembuka tulisan ini. Tugas negaralah yang seharusnya menegakkan regulasi dan melindungi pengguna dari praktik-praktik tidak etis penyedia konten. Jadi, kalau beberapa hari yang lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, mengatakan: ”jangan asal yes, yes, yes ketika menerima SMS tawaran layanan”, bukanlah perkataan yang bijak”. Komentar tersebut, mengesankan bahwa kambing hitamnya justru adalah pengguna layanan yang sudah terjebak, dengan melupakan konteks bahwa latar belakang pengguna ponsel sangat beragam.
Keempat, penegakan regulasi yang lemah. BRTI sudah mengendus masalah ini sejak beberapa tahun yang lalu. Nampaknya agak sulit dipercaya kalau BRTI dan operator tidak mengetahui praktik tidak etis ini, jauh sebelum kasus ini menjadi berita besar di banyak media.
Langkah pemerintah memasukkan 60 perusahaan penyedia konten ke dalam daftar hitam patut dihargai. Tetapi, apakah langkah menyelesaikan masalah? Belum tentu. Kita nampaknya harus sadar bahwa memori kolektif bangsa ini sangat pendek. Perusahaan nakal bisa dengan mudah berganti ‘topeng’. Karenanya, selain langkah tersebut, edukasi kepada para pengguna ponsel harus terus menerus dilakukan, supaya tidak mudah terpancing dengan iming-iming yang menggiurkan dari penyedia konten.
[http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=249705&actmenu=45]
0 komentar:
Posting Komentar