Pulsa adalah istilah familiar di benak masyarakat ketimbang istilah lain seperti taat asas, gotong royong dan lain-lain.
Berbagai alasan orang memiliki dan menggunakan telepon seluler. Alasan mobilitas kegiatan, kepraktisan komunikasi, kebutuhan informasi, tuntutan modernitas, ataupun tuntutan gaya hidup. Intinya, Indonesia saat ini dihantui demam telepon seluler (ponsel), semua manusia di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, dengan gegap gempita menyerbu pusat-pusat perbelanjaan untuk membeli, menukar beli baru ponsel.
Tidak ada batasan umur, status pekerjaan apalagi tingkat ekonomi, setiap orang di negeri ini berhak berHP ria. Hanya bermodal seratus ribu rupiah ditambah lima ribu rupiah untuk membeli kartu pelayan komunikasi, seseorang dapat memiliki ponsel bekas laik pakai dan terhubung dengan ribuan bahkan jutaan orang.
Fenomena ini kerap dijumpai dari pelajar di SD, buruh kasar, bahkan pengemudi becakpun asik menggiatkan jari-jemarinya di tombol-tombol ponsel. Implikasinya, berjamurlah gerai-gerai penjual pulsa di setiap sudut kota, kampung, bahkan desa, alasannya hanya satu yakni mempermudah konsumen membeli pulsa ponselnya. Dengan harga sangat terjangkau, industri gerai pulsa menjadi incaran pengusaha tingkat kecil dan menengah.
Ponsel simbol modernitas
Ponsel identik dengan modernitas yang menuntut segala sesuatu cepat, mudah, dan canggih. Dengan memiliki ponsel, seseorang dapat terakses secara global ke seluruh penjuru negeri bahkan ke seluruh dunia. Bisa berkomunikasi jarak jauh menggunakan telefon yang gampang di bawa-bawa, adalah alasan primer orang memiliki ponsel.
Namun, makna ponsel semakin hari tidaklah sebatas itu saja, tuntutan gaya hidup yang serba digital dan serba informatif teknologis, mendudukkan ponsel sebagai alat “wajib” dimiliki. Sebuah ponsel kini mampu memaknai seseorang dari sisi kehidupan modernitasnya. Misalnya seseorang bisa selalu mendengarkan lagu favoritnya melalui fitur MP3 yang tersistem di dalam perangkat ponsel. Ini jelas menggantikan fungsi dan kedudukan tape recorder, walk man, dan disc man, yang sempat mengalami masa keemasannya karena digandrungi semua orang.
Kemudian, ponsel kini dilengkapi fasilitas kamera digital, memanjakan penggunanya. Orang tidak perlu susah membawa kamera konvensional. Makna yang di dapat ialah membeli sebuah ponsel sudah bisa mendapatkan sebuah ponsel sekaligus sebuah kamera. Ada lagi kedasyatan sebuah ponsel yakni terhubung dengan jaringan internet hanya bermodal pulsa lima ribu perak seseorang dapat terhubung dalam internet dengan batasan kapasitas dan kecepatan tertentu.
Ditambah lagi dari meluasnya tren jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan Netlog, maka bertambahlah urgensitas sebuah ponsel ketika jejaring sosial turut menentukan tingkat modernitas seseorang. Maka tidaklah heran di setiap sudut pusat perbelanjaan, persimpangan jalan, dan warung kopi, bahkan angkutan kota, setiap orang asik dengan ponselnya.
Pulsa, bisnis dan kriminalitas
Satuan harga untuk mengukur layanan pada sebuah ponsel disebut pulsa. Pulsa adalah istilah familiar di benak masyarakat ketimbang istilah lain seperti taat asas, gotong royong dan lain-lain. Oleh karena dengan pulsa seseorang bisa dimanjakan ponselnya dengan berbagai fitur, konten, dan fasilitas di dalamnya. Untuk ikut di dalam percaturan telekomunikasi dalam negeri saja, seseorang sampai rela memiliki lebih dari satu ponsel dengan kartu operator berbeda pula.
Masyarakat semakin cerdas mengatasi pemborosan pulsa, dengan kerap mengganti kartu seluler, masyarakat berharap mendapatkan layanan spektakuler yang ditawarkan pengusaha operator. Contohnya, untuk menyambut Ramadhan, sebuah perusahaan operator menawarkan paket bicara gratis tiga puluh menit setelah mengirimkan 5000 SMS dari pukul 00.00 sampai dengan 06.00, maka berlombalah masyarakat membeli kartu selulernya.
Jika ditelaah lebih bijak, ada beberapa pertanyaan harusnya bertengger dari dalam benak misalnya; sekaya itukah perusahaan operator seluler menghamburkan jasa tanpa biaya. Ataukah masuk akalkah jika dalam tempo enam jam kita mengirim dua ratus sampai lima ratus SMS? Jika hanya untuk mendapat percakapan gratis, atau darimanakah dana sebuah perusahaan operator seluler bisa terus-terusan memprodukdi kartu seluler baru jika dia sangat dermawan dalam menghamburkan “kebajikan”. Tentunya ada perencanaan bisnis yang tepat dan akurat untuk menjadikan semua pertanyaan tersebut menjadi wajar untuk dianalisis. Karakter masyarakat Indonesia yang menyenangi penggunaan bahasa persuasif pastinya sudah lama diteliti oleh perusahaan operator seluler--memberi pancingan kecil untuk mendapatkan ikan kakap adalah modus kapitalisme pengusaha seluler meraup miliaran rupiah dana masyarakat.
Di setiap ada buah dari sebuah peradaban manusia, maka datanglah variasi tindakan kriminalitas baru yang menyesuaikan diri dengan buah peradaban tersebut. Setidaknya inilah teori kriminologi yang didapat penulis di bangku kuliah dulu. Tidaklah mengherankan jika kejahatan tidak sekadar “maling ayam atau maling jemuran”. Namun lebih modern, canggih dan digital. Begitu pula adanya kejahatan telematika yang mengancam masyarakat pengguna ponsel saat ini, berkedok SMS. “Mama minta pulsa”, SMS undian berhadiah, sambungan telefon yang mengabarkan kerabat atau keluarga sakit, bisnis dalam jaringan (daring) atau online, maupun pelayanan konten, telah nyata-nyata mengeruk miliaran rupiah uang masyarakat.
Untuk bisnis pelayanan konten, modusnya sangat rapi dan elegan, dengan bekerjasama dengan operator seluler. Para pengusaha pembuat dan penjual jasa konten secara bebas mendapatkan nomor hubung para konsumen dari perusahaan operator, dan menjajakan dagangannya dengan hanya menekan REG atau Yes. Maka setelah itu raiblah pulsa dari ponsel. Tidak ada yang salah sesungguhnya dengan ini, misalnya konten yang berisi lagu-lagu tematik, nasehat dan tips, bahkan peluang usaha tentu dapat sangat bermanfaat bagi orang-orang tertentu. Namun apakah seorang konsumen yang mendapat SMS tersebut betul-betul membutuhkananya.
Menurut hemat penulis, sangatlah lancang dan merugikan memberikan nomor hubung kepada pihak ketiga yang tidak dikenal atau tidak berkepentingan dengan pemilik nomor tanpa persetujuan walaupun itu dilakukan perusahaan operator telekomunikasi. Karena SMS yang bertubi-tubi masuk ke inbox ponsel seseorang terkadang malah mengganggu kenyamanan pengguna ponsel, apalagi jika konten tersebut tidaklah dibutuhkan.
Akan lebih etis jika operator seluler secara langsung saja menghubungi konsumennya melakukan penawaran konten. Karena hanya pada operatorlah data-data konsumen tersimpan, jika terlalu terbuka akan menimbulkan kriminalitas. Terlepas dari itu, masyarakat Indonesia seharusnya lebih mengintrospeksi diri, sepenting apakah sebuah ponsel bagi seseorang, atau bagi pemerintah, seburuk itukah layanan telekomunikasi pemerintah sampai masyarakat lebih melirik ponsel. Ataukah begitu menghiburnya eksistensi sebuah ponsel bagi kalangan yang membutuhkan fasilitas hiburan. Oleh karena, dengan kondisi perekonomian yang “morat-marit”, Indonesia ternyata mampu menjadi negara yang terbesar populasinya dalam hal kepemilikan ponsel terutama Blackberry.
[http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=218903:negeri-miliaran-pulsa&catid=25:artikel&Itemid=44]
0 komentar:
Posting Komentar