Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, Senin (10/10/2011), akhirnya menebar "setengah janji" pengembalian pulsa konsumen, korban sedot pulsa operator nakal.
Mantan Presiden PKS itu menyatakan, ada kemungkinan pulsa dikembalikan. Alasannya, dalam perjanjian ada ganti rugi, sebagaimana diatur Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pelayanan Jasa Pesan Premium.
Kabar baik bagi jutaaan pemegang telepon seluler di Tanah Air, kendati terlalu dini diharap. Tifatul berjanji mulai hari ini menjalin koordinasi dengan Bareskrim, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan operator.
Koordinasi untuk menindaklanjuti 9.638 pengaduan publik terkait kejahatan operator. Seluruh pengaduan pencurian pulsa, telah disampaikan BRTI ke operator. Jika dalam 14 hari tak diselesaikan, BRTI memanggil operator terkait.
Perangkap pidana pencurian pulsa diharapkan dilaksanakan Polri, melalui kecerdasan penyidik cyber crime IT. Kendati telat, usaha ini tak boleh hanya lips service.
Fenomena kejahatan dunia seluler ini telah berlangsung lama, kerugian materiil dan nonmateriil publik relatif besar. Sekali sedot SMS premium, memang hanya Rp 2.000-an. Penyedotan pulsa yang tak bisa dihentikan ini, hanya Rp 60 ribu sebulan.
Namun, bayangkan jika separo pelanggan Indonesia yang total penduduknya 229.964.720, pulsanya tersedot! Sehari pulsa yang terjarah sekitar Rp 230 miliar dan sekitar Rp 6,9 triliun sebulan.
Jumlah korban memang belum diketahui pasti. Tak semua korban sudi lapor polisi. Aduan publik yang dijaring BRTI baru 9.638 korban. Kita yakin angka itu mungkin baru puncak gunung di tengah lautan pengguna telepon seluler Indonesia.
Bisnis Menggiurkan
Bocah SD saja tak sedikit yang mengantongi HP, apalagi siswa SMP. Umumnya, pengguna jasa operator seluler tak lapor saat pengaduan penyedotan pulsa ke operator tak ada solusi. Korban hanya ganti nomor. Namun, kejahatan serupa kembali datang.
Selama ini pemerintah bak tuli mendengar kian massifnya keluhan masyarakat. Hingga kini belum ada pula transparansi perjanjian Kemenkominfo, BRTI dan operator. Aksi kejahatan berkedok jasa SMS premium pun kian menggila.
Tak ada alasan pemerintah tak tahu, atau tak mampu menumpas kejahatan ini. Andai benar tak ada ketentuan hukum yang mengatur operator pencuri pulsa, revisi UU ITE hinga pembuatan aturan baru sangat bisa dilakukan.
Pemerintah pasti tak buta menggiurnya bisnis seluler. Total omzet operator tahun lalu saja berkisar Rp 95 triliun, dan omset gadget Rp 25 triliun. Nilai pasar industri ini lebih Rp 120 triliun setahun.
Jika asumsi pemerintah terkait pertumbuhan bisnis seluler tahun ini 11 persen, nilai pasar sekitar Rp l33,2 triliun. Ke depan bisnis ini kian menyilaukan mata hati. Tahun ini operator menyiapkan jaringan baru generasi keempat yang menopang transfer data sampai 100 Mbps, berteknologi Wimax dan LTE.
Layanan gres seperti mobile advertising, remittance, e-money, aplication store, music full-tmck bahkan label telah digelindingkan. Pasar gadget lebih seru, ditandai mewabahnya iPad. Apalagi harga smartphone dan tablet kian murah.
Tak heran PT Axis Telekom Indonesia yang baru nongol, meraup omzet Rp 1,4 triliun tahun ini, meningkat dua kali lipat dari revenue tahun lalu. Pertanyaannya, bagaimana pemerintah melindungi warganya dari kejahatan pencurian pulsa?
Jangan sampai "ruang" di balik era komunikasi ini jadi peluang korupsi dalam bentuk lain. Pemerintah harus bertanggungjawab, dan transparan mengelola bisnis komunikasi dan informasi di negeri ini!
[http://pontianak.tribunnews.com/2011/10/11/skandal-mafia-bisnis-seluler]
0 komentar:
Posting Komentar