Persaingan di bisnis seluler, tampaknya berlangsung semakin ketat. Bebagai jurus pemasaran yang dilancarkan oleh masing-masing operator tak mampu lagi mendongkrak angka penjualan secara signifikan.
“Kalau ada yang mengalami kenaikkan, pasti yang lainnya akan mengalami penurunan,” begitu kata Sarwoto Atmosutarno, Direktur Utama Telkomsel, beberapa waktu lalu.
Kenyataan itu, ketatnya persaingan, dibenarkan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Kadin mencatat, penetrasi telekomunikasi di negeri ini sudah mencapai 84,3% atau naik 9% dibanding tahun sebelumnya.
Makanya, tidak mengherankan jika kinerja PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), dalam beberapa tahun terakhir, nyaris tak bergerak. Bahkan cenderung menurun. “Karena berbagai faktor, kinerjanya memang mengalami stagnasi,” kata Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar.
Macetnya pertumbuhan Telkom bisa dilihat dari perolehan laba bersih yang berhasil dikantungi. Setelah 2010 masih mencatatkan kenaikan untung bersih yang sangat tipis (1,22%), pada semester I yang baru lalu laba BUMN ini malah merosot 1,5% menjadi tinggal Rp5,94 triliun.
Mungkin itulah yang mendorong manajemen untuk berupaya membeli kembali (buyback) 35% saham Telkomsel yang kini dikuasai Singtel, Siingapura. Rencana ini bisa dimaklumi karena Telkomsel dengan produk Simpati dan Kartu As, kini merupakan tulang punggung perseroan.
Sayang, niat tersebut sulit untuk diwujudkan. Soalnya, Singtel kelihatannya tak berminat menjual saham Telkomsel yang kini dikempitnya. “Ini merupakan investasi jangka panjang,” kata Jubir Singtel.
Sebuah pilihan yang tepat, memang. Sebab dari Telkomsel, pada paruh pertama tahun ini saja Singtel mengantungi kentungan hingga S$ 210 juta. Artinya, di tahun ini, BUMN Singapura itu bisa mengantungi laba dari Telkomsel sekitar S$420 juta. Dan memang, itulah yang diincar Telkom.
[http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1783351/langkah-telkom-kian-tersandung]
0 komentar:
Posting Komentar