Penghentian layanan SMS premium memang perlu supaya tak merugikan konsumen. Tapi, caranya harus hati-hati dan selektif.
Maklum, penghentian SMS premium itu tidak hanya memukul bisnis layanan penyedia konten atau content provider. Cara ini juga mencemaskan pengusaha industri kreatif yang mendukungnya. Sebut saja bisnis musik dan pengembangan permainan permainan (game) ponsel.
Suwardi Widjaja, Direktur PT Aquarius Musikindo, menuturkan, penghentian layanan SMS premium akan menggoyang bisnis label musik. Sebab, saat ini 80%-90% pendapatannya berasal dari layanan ring back tone (RBT), atau nada sambung pribadi (NSP). "Jika RBT dihentikan, industri rekaman akan mati," katanya, Senin (17/10).
Selama ini Aquarius memiliki kontrak kerjasama penjualan RBT hampir dengan semua operator. Dalam kontrak yang berdurasi satu tahun , Aquarius mendapat pembagian profit sharing bervariasi, antara 40%-60%.
Ia menuturkan, penghentian layanan SMS tersebut bisa mengancam putusnya kontrak kerjasama Aquarius dengan operator seluler. "Kami bingung kalau tiba-tiba kontrak terganggu, apakah bisa masuk dalam kondisi force majeure atau tidak," ungkapnya.
Suwardi menuturkan untuk menjual RBT, Aquarius menggandeng 20 artis dalam negeri. Rata-rata tarif berlangganan RBT Aquarius sebesar Rp 3.000 per minggu. "Jika dihentikan, kami kesulitan mencari pendapatan baru," ungkapnya.
Hal senada dikemukakan Direktur PT Nagaswara, Rahayu Kertawiguna. Ia menuturkan, kebijakan ini mengancam pertumbuhan bisnis RBT yang tumbuh hingga sebesar 10% tiap tahun. "Apalagi kontribusi RBT terhadap pendapatan perusahaan adalah sebesar 85%. Sedangkan 15% bergantung dari penjualan CD," ungkapnya.
Ia menuturkan Nagaswara bekerjasama dengan content provider untuk memasarkan lagu dari 300 artis Nagaswara melalui operator. Jadi, pendapatan dari jualan RBT dibagi tiga pihak yakni operator seluler, content provider dan Nagaswara. "Kami selalu dapat porsi lebih kecil dari operator dan content provider," ungkapnya.
Tidak dapat royalti
Musisi senior, Melly Goeslaw, berpendapat, RBT adalah satu-satunya jalan untuk bisa menghidupkan industri kreatif khususnya industri musik. "Meski hanya sementara, banyak pihak dirugikan termasuk musisi yang terancam tak dapat royalti," ungkapnya.
Ia menuturkan, pendapatan artis lima tahun lalu berasal dari penjualan kaset, dan CD. Penjualan kaset kala itu bisa menembus angka 40 juta keping per tahun. Sedangkan penjualan CD bisa menembus angka dua juta keping per tahun. "Namun sekarang untuk mencapai penjualan sekitar 10.000 keping saja sangat sulit," ungkapnya.
Karena itu, Melly Goeslaw menuturkan, kemarin (18/10) malam, ia bersama sejumlah musisi lain mengadu ke Komisi I DPR. Mereka berharap DPR agar menekan pemerintah untuk membatalkan kebijakan yang berlaku mulai Selasa ini.
Pandangan senada juga dikemukakan Arief Widyasa, pengembang game lokal dari PT Agate Studio. Ia bilang, sekalipun perlu ada sikap tegas, sebaiknya jangan mematikan industri secara keseluruhan.
Saat ini Agate menjual game berjudul Football Saga, melalui kerjasama dengan semua operator telepon. Rata-rata satu hari gamenya diakses oleh 2.000-3.000 pengguna aktif telepon seluler. "Kami berharap tidak ada yang dirugikan," ungkapnya.
[http://industri.kontan.co.id/v2/read/1318902391/80257/Layanan-RBT-stop-bisnis-musik-drop-]
0 komentar:
Posting Komentar