Penuhnya kapasitas pita frekwensi 3G yang dikelola operator seluler dan berdampak pada akses internet nirkabel yang lamban hanya bisa diatasi dengan penambahan kapasitas. Sayangnya, hampir semua operator seluler hanya berorientasi pada penambahan pelanggan dengan adu murah harga ketimbang menambah kapasitas jaringannya.
Ini yang diungkap Herry S.W pengamat teknologi seluler saat berbincang dengan suarasurabaya.net, Selasa (18/10/2011).
Tanpa menyebut nama operator, Herry mencontohkan perang harga yang dampaknya sebenarnya merugikan pelanggan. “Memang benar, pelanggannya bertambah. Seharunya penambahan pelanggan itu juga diikuti penambahan kapasitas. Misalnya tambah 100, operator harus tambah kapasitasnya mendekati 100 atau kalau bisa melebihinya agar lalu lintas data bisa tertampung,” kata dia.
Ibarat memakan satu loyang pizza, kata Herry, mulanya pizza itu sangat nikmat disantap oleh 2 orang. Tapi dengan datangnya beberapa orang lagi penyantap pizza, sedangkan pizzanya hanya satu loyang, maka tiap orang mungkin saja hanya mendapat porsi-porsi kecil.
“Sama seperti bandwidth yang dipakai sebagai jalur koneksi internet nirkabel. Semakin banyak pemakai, tentunya semakin lambat koneksinya. Kecuali jika kapasitas ditambah,” kata Herry.
Penambahan kapasitas jaringan, jelas Herry, tentu bukan perkara sederhana buat operator. Selain soal biaya, juga belum tentu bandwidth itu tersedia karena pasokannya yang juga terbatas.
Beberapa operator seluler berupaya meningkatkan performa kecepatan akses internet dengan pengalihan teknologi dari 3G, 3,5G, dan 3,75G ke teknologi yang lebih maju, yakni Long Term Evolution yang tergolong teknologi generasi ke-4 (4G).
“Apakah shifting teknologi ini lebih bijak? Apalagi pemerintah dan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sampai kini belum mengeluarkan aturan yang detil soal teknologi 4G ini,” kata dia.
Wimax (Worldwide Interoperability for Microwave Access), teknologi lainnya yang dipilih untuk meretas lemotnya akses internet di Indonesia, kata Herry, juga belum terlihat keandalannya. Padahal era 2005, teknologi ini pernah digadang-gadang pilihan internet cepat. Tapi dengan komersialisasi frekwensi pita lebar oleh pemerintah, teknologi ini sempat ditahan masuknya ke Indonesia.
Belakangan, sejak tahun 2010 teknologi yang mirip dengan wireless fidelity (Wifi) dengan cakupan radius 50 km ini sudah dilepas oleh pemerintah. Tapi penggunaannya ternyata tak sebesar ekspektasi sebelumnya.
Herry SW mengatakan sejumlah perusahaan yang berbisnis di Wimax tidak berani menggeber produknya seperti apa yang dilakukan operator-operator jumbo di bisnis 3G. “Ini yang membuat Wimax di Jakarta ternyata, biasa-biasa saja,” kata dia.
[http://infoteknologi.suarasurabaya.net/?id=4e8a4bd9616776a4559b7d260083607e201198883]
0 komentar:
Posting Komentar