Ponselku, Kekasihku
Telepon seluler atau biasa disebut ponsel, kini diperlakukan seperti kekasih pada banyak orang. Hubungan yang demikian lengket antar pasangan kekasih itu kini mendapat perhatian 'orangtua ' yang bernama World Health Organization alias WHO. Pasangan itu diwanti-wanti agar berhubungan dengan hati-hati agar tidak menuai ekses negatif, kemudian.
Tentu saja hal ini menjadi sesuatu yang mengejutkan. Restu yang diharapkan maksimal seakan mulai digugat oleh peringatan orangtua yang berharap hubungan mereka jangan terlalu lengket. Hubungan yang demikian indah selama ini lalu diminta supaya dibatasi. Kontan saja, pasangan kekasih ini menjadi 'berang'. Bagaimana mungkin, hubungan kami yang sudah demikian intim harus dibatasi? Padahal selama ini kami begitu menikmatinya? Demikian antara lain perlawanan mereka.
INTIM
Hubungan seseorang dengan ponselnya adalah hubungan yang sangat intim. Lewat ponsel, semua hal yang bersifat pribadi, bahkan yang sangat rahasia bisa terungkap. Meski belakangan ada saja alat penyadap yang sering membuat was-was pengguna telepon tertentu. Namun, kedekatan seseorang dengan ponselnya menjadi hubungan yang demikian intens dan personal.
Ponsel sudah seperti kekasih yang ingin selalu ada di sisi kita. Kekasih yang selalu ingin kita peluk dan kita lihat setiap saat. Kekasih yang saat tidak kita ketahui keberadaannya akan membuat kita pusing tiada kepalang. Kekasih yang ketika bicara atau memanggil, kita langsung menolehkan pandangan kita padanya secara spontan.
Ya, ponselku, kekasihku sepertinya kini merasuki hampir setiap pengguna ponsel. Sehingga, kehilangan ponsel bisa membuat kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Padahal, ponsel itu hanya perangkat komunikasi yang memang perkembangannya sekarang semakin canggih dan membuat segala sesuatunya seakan dapat dihadirkan seketika dan di depan mata.
Tak heran, penggunanya meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah pelanggan ponsel di seluruh dunia telah mencapai tiga miliar lebih, dua kali lipat dibandingkan data 2005, atau hampir tiga perempat dari populasi global. Di Indonesia sendiri disebutkan data penggunanya mencapai 115 juta orang, atau sekitar separuh dari jumlah penduduk Indonesia.
Tentu saja, wajar si orangtua itu lantas mengkuatirkannya. Karena sudah melibatkan lebih dari separuh penduduk dunia. Karena itu, jika terjadi sesuatu yang akan menjadi akibat dari hubungan demikian intim itu tentu amat sangat disayangkan.
Sehingga, saat keintiman demikian semakin dinikmati, tiba-tiba saja datang peringatan yang menghimbau hubungan itu jangan terlalu dekat. Adalah International Agency for Research on Cancer (IARC), badan di bawah Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang berperan laksana orangtua. Ia mengingatkan agar kedekatan itu mulai dibatasi demi kesehatan.
PERINGATAN
WHO yang didirikan sejak 7 April 1948 sebagai badan khusus Perserikatan Bangsa-bangsa dan berpusat di Jenewa, Swiss ini memiliki anggota hampir dua ratus negara. Badan ini melaksanakan program-program berskala dunia untuk mencegah dan melenyapkan penyakit. Tetapi, misi WHO melangkah lebih jauh dari sekedar pengobatan terhadap penyakit jasmani. Tujuannya adalah pencapaian tingkat kesehatan yang tertinggi untuk seluruh umat manusia di dunia. Bahwa kesehatan didefinisikan sebagai kesejahteraan yang seutuhnya baik fisik, mental maupun sosial.
Demikianlah, orangtua yang merasa penuh tanggung jawab itu kemudian menyampaikan temuannya pada puncak pertemuan IARC pada hari Selasa, 31 Mei 2011 di Lyon, Prancis yang diikuti 31 ilmuwan dari 14 negara untuk mengkaji ratusan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipublikasi tentang risiko kanker yang ditimbulkan oleh medan elektromagnetik. Menurutnya, ada bukti bahwa radiasi telepon seluler bisa memicu dua tipe kanker otak. Namun bukti itu perlu diteliti lebih lanjut.
Ia mengingatkan bahaya radiasi dari ponsel yang diklasifikasikan sebagai "sangat mungkin berisiko kanker". Badan ini sebelumnya telah melakukan peninjauan dari efek gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan manusia. Jonathan Samet, ilmuwan di University of Southern California, yang memimpin grup itu menyatakan, "Mungkin ada beberapa risiko, dan oleh karena itu kita harus tetap mencermati hubungan antara ponsel dan kanker."
Peneliti lain, Kurt Straif mengatakan, paparan tertinggi radiasi adalah saat ponsel digunakan untuk menelepon. "Untuk penggunaan pesan pendek (SMS) atau menggunakan perangkat hands-free akan memperkecil paparannya."
WHO menyebutkan kemungkinan risiko kanker otak bagi pemakai ponsel dan yang tidak pakai ponsel besarnya hampir sama. Maka itu WHO hanya bisa mengingatkan risikonya agar pemakai ponsel lebih bijak menggunakan ponselnya.
Tim menemukan bukti peningkatan glioma dan peningkatan resiko kanker otak akustik neuroma bagi pengguna ponsel. Namun belum dapat menarik kesimpulan untuk jenis kanker lainnya. Temuan ini agak berseberangan dengan hasil penelitian WHO sebelumnya pada tahun 2010, bahwa hasil pengamatan 10 tahun menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko kanker otak khususnya glioma dan meningioma.
BIJAKSANA
Peringatan itu tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja. Saatnya pasangan kekasih itu bersikap bijaksana. Apalagi karena hasil penelitian itu, bukan sekedar larangan karena ketidaksukaan semata, telah menunjukkan resiko yang bisa membahayakan jiwa.
Sepanjang hubungan tersebut baik-baik saja dan tidak berpotensi menularkan penyakit pada kita, tentu tidak masalah. Namun, saat kekasih dinyatakan memungkinkan untuk membuat kita menderita penyakit yang mematikan, apakah kita akan bertahan hidup bersamanya dengan keintiman yang sudah tercipta?
Terlanjur cinta, memang sering membuat orang tidak perduli bagaimana kondisi kekasihnya. Bahkan, dalam film percintaan antara manusia normal dengan manusia Vampire alias penghisap darah, rasa cinta diantara mereka membuatnya tidak perduli apapun. Tapi bagaimana dengan ancaman radiasi ponsel yang kemungkinan akan menyebabkan Anda terkena kanker otak? Sanggupkah Anda mengabaikan informasi yang dapat membuat orang bergidik ini? Apalagi penyakit kanker seringkali berujung maut sehingga sangat menakutkan bagi siapa saja.
Karena itu, wajar saja jika hubungan mesra dengan sang kekasih ini disikapi bijaksana. Bahwa, seperti pacaran gaya long distance, tetap saja tidak mengurangi kemesraan dan komitmen diantara pasangan. Sehingga, tidak masalah kalau kemudian dilakukan pembatasan pembicaraan dan menggunakan fasilitas handsfree atau menjawab yang penting saja, tidak perlu sampai berjam-jam menempelkan kuping ke ponsel untuk meminimalisir radiasi dari gelombang elektromagnetik.
Pada beberapa informasi disebutkan, ruangan terbuka juga menjadi tempat yang baik menghindari radiasi dan sebaiknya tidak menerima telepon di elevator. Selain itu, jarak telinga dengan ponsel juga harus dijaga dan tidak menempatkan ponsel di saku celana. Serta pilihan ponsel dengan level SAR (Specific Absorption Rate) yang rendah dan jika perlu menggunakan alat pelindung ponsel yang mampu menekan radiasi.
Demikianlah, kita tidak perlu berpisah dengan kekasih kita itu tetapi mulai menjadikan kualitas hubungan sebagai upaya menjaga diri dari segala macam kemungkinan yang masih terus diteliti. Selamat, karena Anda belum benar-benar dipisahkan dari sang kekasih. Kualitas hubungan ini tentu saja tidak ditentukan oleh kuantitas percakapan semata. Bijaksanalah!
[AnalisaDaily]
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar:
Posting Komentar