Regulator mempersilakan operator telekomunikasi untuk mengajukan spektrum frekuensi untuk menyelenggarakan layanan telekomunikasi seperti Research in Motion (RIM).
Selain pengajuan frekuensi baru, operator telekomunikasi juga harus membenahi infrastruktur server serta menggandeng vendor ponsel lokal atau global.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan biaya bandwidth internasional itu sangat besar.
“Selama ini operator di Indonesia memabyaar mahal bandwidth internasional untuk keperluan Research in Motion dengan pendapatan bersih Rp150 miliar per bulan,” ujarnya kepada Bisnis hari ini.
Menurut dia, dengan jumlah pengguna BlackBerry di Indonesia sekitar 3 juta orang, maka RIM bisa menerima keuntungan bersih US$6 per pengguna per bulan sementara semua saluran disediakan oleh operator seluler, belum lagi dari penjualan handset-nya.
Nonot menilai operator telekomunikasi di Indonesia pasti mampu mendefinisikan handset apa yang diinginkan pengguna di Indonesia, lalu bisa di order ke vendor luar negeri.
“Kalau tidak bisa ke arah sana, maka operator di Indonesia selamanya hanya menjadi reseller atau pekerjanya orang asing. Untuk itu, operator dipersilakan mengajukan alokasi spektrum yang layak untuk menyelenggarakan model bisnis seperti RIM dan merancang handset,” katanya.
Alokasi frekuensi yang memungkinkan adalah di pita 2,3 GHz yang masih tersisa 600 Mhz di mana di pita tersebut TD-LTE sudah siap.
Sementara itu, BRTI masih terus melakukan pembahasan mengenai aturan merger dan akuisisi operator telekomunikasi.
Anggota BRTI Heru Sutadi mengungkapkan proses merger dan akuisisi operator telekomunikasi perlu diatur, karena berbeda dengan penggabungan perusahaan biasa, dalam merger antaroperator telekomunikasi menyangkut juga sumber daya yang terbatas, yaitu frekuensi.
[http://www.bisnis.com/infrastruktur/telekomunikasi/30105-operator-didesak-tiru-model-bisnis-blackberry]
0 komentar:
Posting Komentar